بسم الله الرحمن الرحيم
PERKEMBANGAN ILMU
TAFSIR ZAMAN SAHABAT
Secara etimologi tafsir bisa berarti:
الايضاح والبيان (penjelasan), الكشف (pengungkapan) dan
كشف المراد عن اللفظ المشكل (menjabarkan kata
yang samar ). 1 Adapun secara terminologi tafsir
adalah penjelasan terhadap Kalamullah atau menjelaskan lafadz-lafadz
al-Qur’an dan pemahamannya. 2
Ilmu tafsir merupakan ilmu yang
paling mulia dan paling tinggi kedudukannya, karena pembahasannya berkaitan
dengan Kalamullah yang merupakan petunjuk dan pembeda dari yang haq
dan bathil. Ilmu tafsir telah dikenal sejak zaman Rasulullah dan berkembang
hingga di zaman modern sekarang ini. Adapun perkembangan ilmu tafsir dibagi
menjadi empat periode yaitu :
Pertama,
Tafsir Pada Zaman Nabi.
Al-Qur’an diturunkan dengan bahasa
Arab sehingga mayoritas orang Arab mengerti makna dari ayat-ayat al-Qur’an.
Sehingga banyak diantara mereka yang masuk Islam setelah mendengar bacaan
al-Qur’an dan mengetahui kebenarannya. Akan tetapi tidak semua sahabat
mengetahui makna yang terkandung dalam al-Qur’an, antara satu dengan yang lainnya
sangat variatif dalam memahami isi dan kandungan al-Qur’an. Sebagai orang yang
paling mengetahui makna al-Qur’an, Rasulullah selalu memberikan penjelasan
kepada sahabatnya, sebagaimana firman Allah ,” keterangan-keterangan
(mu’jizat) dan kitab-kitab.Dan Kami turunkan kepadamu al-Qur’an, agar kamu
menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka supaya
mereka memikirkan, (QS. 16:44). Contohnya hadits yang diriwayatkan Muslim
dari Uqbah bin ‘Amir berkata : “Saya mendengar Rasulullah berkhutbah diatas
mimbar membaca firman Allah :
وأعدوا
لهم ما استطعتم من قوة
kemudian Rasulullah bersabda :
ألا
إن القوة الرمي
“Ketahuilah bahwa kekuatan itu pada memanah”.
Juga hadits Anas yang diriwayatkan Bukhori dan Muslim
Rasulullah bersabda tentang Al-Kautsar adalah sungai yang Allah
janjikan kepadaku (nanti) di surga.
Tafsir
Pada Zaman Sahabat
Adapun metode sahabat dalam
menafsirkan al-Qur’an adalah; Menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an,
menafsirkan Al-Qur’an dengan sunnah Rasulullah, atau dengan kemampuan bahasa,
adat apa yang mereka dengar dari Ahli kitab (Yahudi dan Nasroni) yang masuk
Islam dan telah bagus keislamannya.
Diantara tokoh mufassir pada masa ini adalah:
Khulafaurrasyidin (Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali), Abdullah bin Abbas, Abdullah
bin Mas’ud, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair dan Aisyah.
Namun yang paling banyak menafsirkan dari mereka adalah Ali bin Abi Tholib,
Abdullah bin Mas’ud dan Abdullah bin Abbas yang mendapatkan do’a dari
Rasulullah.
Penafsiran shahabat yang didapatkan dari Rasulullah
kedudukannya sama dengan hadist marfu’. 3
Atau paling kurang adalah Mauquf. 4
Tafsir
Pada Zaman Tabi’in
Metode penafsiran yang digunakan pada masa ini tidak
jauh berbeda dengan masa sahabat, karena para tabi’in mengambil tafsir dari
mereka. Dalam periode ini muncul beberapa madrasah untuk kajian ilmu tafsir
diantaranya:
1)- Madrasah Makkah atau Madrasah Ibnu Abbas yang
melahirkan mufassir terkenal seperti Mujahid bin Jubair, Said bin Jubair,
Ikrimah Maula ibnu Abbas, Towus Al-Yamany dan ‘Atho’ bin Abi Robah.
2)- Madrasah Madinah atau Madrasah Ubay bin Ka’ab, yang
menghasilkan pakar tafsir seperti Zaid bin Aslam, Abul ‘Aliyah dan Muhammad bin
Ka’ab Al-Qurodli. Dan 3)- Madrasah Iraq atau Madrasah Ibnu Mas’ud, diantara
murid-muridnya yang terkenal adalah Al-Qomah bin Qois, Hasan Al-Basry dan
Qotadah bin Di’amah As-Sadusy.
Tafsir yang disepakati oleh para tabiin bisa menjadi
hujjah, sebaliknya bila terjadi perbedaan diantara mereka maka satu pendapat
tidak bisa dijadikan dalil atas pendapat yang lainnya. 5
Tafsir
Pada Masa Pembukuan
Pembukuan tafsir dilakukan dalam lima periode yaitu;
Periode Pertama, pada zaman Bani Muawiyyah dan permulaan
zaman Abbasiyah yang masih memasukkan ke dalam sub bagian dari hadits yang
telah dibukukan sebelumnya. Periode Kedua, Pemisahan tafsir dari
hadits dan dibukukan secara terpisah menjadi satu buku tersendiri. Dengan
meletakkan setiap penafsiran ayat dibawah ayat tersebut, seperti yang dilakukan
oleh Ibnu Jarir At-Thobary, Abu Bakar An-Naisabury, Ibnu Abi Hatim dan Hakim
dalam tafsirannya, dengan mencantumkan sanad masing-masing penafsiran sampai ke
Rasulullah, sahabat dan para tabi’in. Periode Ketiga, Membukukan
tafsir dengan meringkas sanadnya dan menukil pendapat para ulama’ tanpa
menyebutkan orangnya. Hal ini menyulitkan dalam membedakan antara sanad yang
shahih dan yang dhaif yang menyebabkan para mufassir berikutnya mengambil
tafsir ini tanpa melihat kebenaran atau kesalahan dari tafsir tersebut. Sampai
terjadi ketika mentafsirkan ayat
غير
المغضوب عليهم ولاالضالين
ada sepuluh pendapat, padahal para ulama’ tafsir sepakat
bahwa maksud dari ayat tersebut adalah orang-orang Yahudi dan Nasroni. Periode
Keempat, pembukuan tafsir banyak diwarnai dengan buku – buku tarjamahan
dari luar Islam. Sehingga metode penafsiran bil aqly (dengan akal)
lebih dominan dibandingkan dengan metode bin naqly ( dengan periwayatan).
Pada periode ini juga terjadi spesialisasi tafsir menurut bidang keilmuan para
mufassir. Pakar fiqih menafsirkan ayat Al-Qur’an dari segi hukum seperti
Alqurtuby. Pakar sejarah melihatnya dari sudut sejarah seperti ats-Tsa’laby dan
Al-Khozin dan seterusnya. Periode Kelima, tafsir maudhu’i yaitu
membukukan tafsir menurut suatu pembahasan tertentu sesuai disiplin bidang
keilmuan seperti yang ditulis oleh Ibnu Qoyyim dalam bukunya At-Tibyan fi
Aqsamil Al-Qur’an, Abu Ja’far An-Nukhas dengan Nasih wal Mansukh, Al-Wahidi
Dengan Asbabun Nuzul dan Al-Jassos dengan Ahkamul Qur’annya.
Metode penafsiran yang banyak dilakukan oleh para
mufassir adalah:
Pertama,
Tafsir Bil Ma’tsur atau Bir-Riwayah
Metode penafsirannya terfokus pada shohihul manqul
(riwayat yang shohih) dengan menggunakan penafsiran al-Qur’an dengan al-Qur’an,
penafsiran al-Qur’an dengan sunnah, penafsiran al-Qur’an dengan perkataan para
sahabat dan penafsiran al-Qur’an dengan perkataan para tabi’in. Yang mana
sangat teliti dalam menafsirkan ayat sesuai dengan riwayat yang ada. Dan
penafsiran seperi inilah yang sangat ideal yang patut dikembangkan. Beberapa
contoh kitab tafsir yang menggunakan metode ini adalah :
1. Tafsir At-Tobary ( ( جامع
البيان في تأويل أى
القران terbit 12 jilid
2. Tafsir Ibnu Katsir (العظيم تفسير القران) dengan
4 jilid
3. Tafsir Al-Baghowy (معالم التنزيل )
4.
Tafsir Imam As-Suyuty التفسير بالمأثور
) (
الدر المنثور في terbit 6 jilid.
Kedua, Tafsir Bir-Ra’yi
(Diroyah).
Metode ini dibagi menjadi dua bagian, yaitu:
Ar-Ro’yu al Mahmudah (penafsiran dengan akal yang diperbolehkan) dengan beberapa syarat
diantaranya:
1)- Ijtihad yang dilakukan tidak keluar dari nilai-nilai
al-Qur’an dan as-sunnah
2)- Tidak berseberangan penafsirannya dengan penafsiran
bil ma’tsur, Seorang mufassir harus menguasai ilmu-ilmu yang berkaitan dengan
tafsir beserta perangkat-perangkatnya.
Beberapa contoh kitab tafsir yang menggunakan metodologi
ini diantaranya :
1.
Tafsir Al-Qurtuby - الجامع
لأحكام القران
2.
Tafsir Al-Jalalain - تفسير
الجلالين
3.
Tafsir Al-Baidhowy - التأويل التنزيل
و أسرار أنوار .
Ar-Ro’yu Al- mazmumah (penafsiran dengan akal yang dicela / dilarang), karena bertumpu
pada penafsiran makna dengan pemahamannya sendiri. Dan istinbath (pegambilan
hukum) hanya menggunakan akal/logika semata yang tidak sesuai dengan
nilai-nilali syariat Islam. Kebanyakan metode ini digunakan oleh para ahli
bid’ah yang sengaja menafsirkan ayat al-Qur’an sesuai dengan keyakinannya untuk
mengajak orang lain mengikuti langkahnya. Juga banyak dilakukan oleh ahli
tafsir priode sekarang ini. Diantara contoh kitab tafsir yang menggunakan
metode ini adalah:
1. Tafsir Zamakhsyary (الكشاف عن حقائق التنزيل و عيون الأقاويل في وجوه التأويل )
2. Tafsir syiah “Dua belas” seperti (مرأة الأنوار و مشكاة الأسرار للمولي عبد اللطيف
الكازاراني ) jugaمع البيان لعلوم القران لأبي الفضل الطبراسي
3. Tafsir As-Sufiyah dan Al-Bathiniyyah seperti tafsir حقائف
التفسير للسلمي و عرائس البيان في حقائق القران لأبي محمد الشيرازي
SYARAT DAN ADAB
PENAFSIR AL-QUR’AN
Untuk bisa menafsirkan al-Qur’an, seseorang harus
memenuhi beberapa kreteria diantaranya:
1)- Beraqidah shahihah, karena aqidah sangat
pengaruh dalam menafsirkan al-Qur’an.
2)- Tidak dengan hawa nafsu semata, Karena dengan hawa
nafsu seseorang akan memenangkan pendapatnya sendiri tanpa melilhat dalil yang
ada. Bahkan terkadang mengalihkan suatu ayat hanya untuk memenangkan pendapat
atau madzhabnya.
3)- Mengikuti urut-urutan dalam menafsirkan al-Qur’an
seperti penafsiran dengan al-Qur’an, kemudian as-sunnah, perkataan para sahabat
dan perkataan para tabi’in.
4)- Faham bahasa arab dan perangkat-perangkatnya, karena
al-Qur’an turun dengan bahasa arab. Mujahid berkata; “Tidak boleh
seorangpun yang beriman kepada Allah dan hari akhir, berbicara tentang
Kitabullah (al-Qur’an) jikalau tidak menguasai bahasa arab“.
5)- memiliki pemahaman yang mendalam agar bisa mentaujih
(mengarahkan) suatu makna atau mengistimbat suatu hukum sesuai dengan
nusus syari’ah,
6)- Faham dengan pokok-pokok ilmu yang ada hubungannya
dengan al-Qur’an seperti ilmu nahwu (grammer), al-Isytiqoq (pecahan
atau perubahan dari suatu kata ke kata yang lainnya), al-ma’ani, al-bayan,
al-badi’, ilmu qiroat (macam-macam bacaan dalam al-Qur’an),
aqidah shaihah, ushul fiqh, asbabunnuzul, kisah-kisah dalam islam,
mengetahui nasikh wal mansukh, fiqh, hadits, dan lainnya yang
dibutuhkan dalam menafsirkan.
Adapun adab yang harus dimiliki seorang mufassir adalah
sebagai berikut :
1.
Niatnya harus bagus, hanya
untuk mencari keridloan Allah semata. Karena seluruh amalan tergantung dari
niatannya (lihat hadist Umar bin Khottob tentang niat yang diriwayatkan oleh
bukhori dan muslim diawal kitabnya dan dinukil oleh Imam Nawawy dalam buku
Arba’in nya).
2.
Berakhlak mulia, agar ilmunya
bermanfaat dan dapat dicontoh oleh orang lain
3.
Mengamalkan ilmunya, karena
dengan merealisasikan apa yang dimilikinya akan mendapatkan penerimaan yang
lebih baik.
4.
Hati-hati dalam menukil
sesuatu, tidak menulis atau berbicara kecuali setelah menelitinya terlebih
dahulu kebenarannya.
5.
Berani dalam menyuarakan
kebenaran dimana dan kapanpun dia berada.
6.
Tenang dan tidak tergesa-gesa
terhadap sesuatu. Baik dalam penulisan maupun dalam penyampaian. Dengan
menggunakan metode yang sistematis dalam menafsirkan suatu ayat. Memulai dari
asbabunnuzul, makna kalimat, menerangkan susunan kata dengan melihat dari sudut
balagho, kemudian menerangkan maksud ayat secara global dan diakhiri dengan
mengistimbat hukum atau faedah yang ada pada ayat tersebut.
CONTOH KITAB TAFSIR DAN METODOLOGI
PENULISANNYA
Nama Kitab : جامع البيان في
تفسير أي القران atau yang lebih dikenal dengan
tafsir al-Tabary.
Pengarangnya : Abu Ja’far Muhammad
bin Jarir At-Thobary (224 – 310 H)
Jumlah jilid : 12 jilid besar.
Keistimewaannya : Tafsir ini
merupakan referensi bagi para mufassirin terutama penafsiran
binnaqli/biiriwayah. Tafsir bil aqli karena istinbath hukum, penjabaran
berbagai pendapat dengan dan mengupasnya secara detail disertai analisa yang
tajam. Ia merupakan tafsir tertua dan terbagus.
Metodologi
Penulisannya:
Penulis menafsirkan ayat al-Qur’an dengan jelas dan
ringkas dengan menukil pendapat para sahabat dan tabi’in disertai sanadnya.
Jikalau dalam ayat tersebut ada dua pendapat atau lebih, di sebutkan satu
persatu dengan dalil dan riwayat dari sahabat maupun tabi’in yang mendukung
dari tiap-tiap pendapat kemudian mentarjih (memilih) diantara pendapat
tersebut yang lebih kuat dari segi dalilnya. Beliau juga mengii’rob
(menyebut harakat akhir), mengistimbat hukum jikalau ayat tersebut
berkaitan dengan masalah hukum. Ad-Dawudy dalam bukunya “Thobaqah
al-Mufassirin“ mengomentari metode ini dengan ungkapannya:“ Ibnu jarir
telah menyempurnakan tafsirnya dengan menjabarkan tentang hukum-hukum, nasih
wal mansuh, menerangkan mufrodat (kata-kata) sekaligus maknanya, menyebutkan
perbedaaan ulama’ tafsir dalam masalah hukum dan tafsir kemudian memilih
diantara pendapat yang terkuat, mengi’rob kata-kata, mengkonter pendapat
orang-orang sesat, menulis kisah ,berita dan kejadian hari kiamat dan
lain-lainnya yang terkandung didalamnya penuh dengan hikmah dan keajaiban tak
terkira kata demi kata, ayat demi ayat dari isti’adzah sampai abi jad (akhir
ayat). Bahkan jikalau seorang ulama’ mengaku mengarang sepuluh kitab yang
diambil dari tafsir ini, dan setiap kitab mengandung satu disiplin keilmuan
dengan keajaiban yang mengagungkan akan diakuinya (karangan tersebut).
2. Tafsir Ibnu Katsir
Nama kitab : تفسير
القران العظيم lebih dikenal dengan Tafsir Ibnu Katsir.
Jumlah jilid : 4
Jilid
Nama penulis : Imaduddin
Abul Fida’ Ismail bin Amr bin Katsir (w 774 H)
Keutamaanya : Merupakan tafsir terpopuler setelah tafsir At-Thobary dengan metode
bil ma’tsur.
Metodologi penulisannya:
Penulis sangat teliti dalam mentafsirkan ayat-ayat
al-Qur’an dengan menukil perkataan para salafus sholeh. Ia menafsirkan ayat
dengan ibarat yang jelas dan mudah dipahami. Menerangkan ayat dengan ayat yang
lainnya dan membandingkannya agar lebih jelas maknanya. Beliau juga menyebutkan
hadits-hadits yang berhubungan dengan ayat tersebut dilanjutkan dengan
penafsiran para sahabat dan para tabi’in. Beliau juga sering mentarjih diantara
beberapa pendapat yang berbeda, juga mengomentari riwayat yang shoheh atau yang
dhoif(lemah). mengomentari periwayatan isroiliyyat. Dalam
menafsirkan ayat-ayat hukum, ia menyebutkan pendapat para Fuqaha (ulama’ fiqih)
dengan mendiskusikan dalil-dalilnya, walaupun tidak secara panjang lebar. Imam
Suyuthy dan Zarqoni menyanjung tafsir ini dengan berkomentar ;” Sesungguhnya
belum ada ulama’ yang mengarang dalam metode seperti ini “.
3. Tafsir Al-Qurtuby
Nama kitab : الجامع
لأحكام القران
Jumlah jilid : 11
jilid dengan daftar isinya.
Nama penulisnya : Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad Al-Qurtuby (w 671 H).
Keutamaanya :
Ibnu Farhun berkata,” tafsir yang paling bagus dan paling banyak manfaatnya,
membuang kisah dan sejarah, diganti dengan hukum dan istimbat dalil, serta
menerangkan I’rob, qiroat, nasikh dan mansukh”.
Metode penulisannya :
Penulis terkenal dengan gaya penulisan ulama’ fiqih., dengan menukil
tafsir dan hukum dari para ulama’ salaf dengan menyebutkan pendapatnya
masing-masing. Dan membahas suatu permasalahan fiqhiyah dengan mendetil.
Membuang kisah dan sejarah, diganti dengan hukum dan istimbat dalil, juga
I’rob, qiroat, nasikh dan mansukh. Beliau tidak ta’assub (panatik)
dengan mazhabnya yaitu mazhab Maliki.
4. Tafsir Syinqithy
Nama kitab : أضواء
البيان في إيضاح القران بالقران
Jumlah jilid : 9
jilid.
Nama penulisnya : Muhammad Amin al-Mukhtar As-Syinqithy
Metodologi
penulisannya:
Menekankan penafsiran bil-ma’tsur dengan dilengkafi qira’ah
as-sab’ah dan qiro’ah syadz (lemah) untuk istisyhad (pelengkap).
Menerangkan masalah fiqih dengan terperinci, dengan menyebut pendapat disertai
dalil-dalilnya dan mentarjih berdasarkan dalil yang kuat. Pembahasan masalah
bahasa dan usul fiqih. Beliau wafat dan belum sempat menyelesaikan tafsirnya
yang kemudian dilengkapi oleh murid sekaligus menantunya yaitu Syekh ‘Athiyah
Muhammad Salim.
Refrensi:
1 Adz-Dzahabi, at-Tafsir
wa al-Mufassirun 1/13, Manna’ al-Qattan, Mabaahits fi Ulumi al-Qur’an hal
: 323.
2 Abdul Hamid
al-Bilaly, al-Mukhtashar al-Mashun min Kitab al-Tafsir wa al-Mufashirun, (Kuwait :
Daar al-Dakwah, 1405) hal. 8
5 majmu’ fatawa syaikhul Islam ibnu taimiyah 13/370 dan buku mabahits fi
ulumul al-qur’an ole mann’ al-qotton hal ; 340-342
Tidak ada komentar:
Komentar baru tidak diizinkan.